IDE KREATIF : Sejumlah dosen dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara, Minggu (24/4/2016), mengunjungi makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Pengunjung lainnya juga memenuhi kompleks makam yang sejuk dengan pohon angsana tua itu.
"Ini kubur almarhum yang diampuni, yang takwa, pemberi nasihat, yang dicintai, bangsawan, yang mulia, yang penyantun, penakluk, yang digelari dengan Sultan Al Malikussaleh. Yang paham agama yang berpindah (wafat) dalam bulan Ramadhan tahun 690 Hijriah." Itulah kalimat yang terpahat indah dengan seni kaligrafi di nisan Sultan Malikussaleh (1270-1297 Masehi).
Ia adalah sultan pertama di kerajaan Islam pertama Nusantara. Ukuran kompleks makam itu sekitar 12 x 17 meter. Di situlah ditaksir, pusat aktivitas Kerajaan Samudera Pase tempo dulu.
Sang juru kunci, Muhammad Yakop, setia menjaga makam. Rumah kakek yang satu ini persis di depan kompleks itu.
Jika mengunjungi makam ini, kita jangan berharap akan menemukan puing-puing kerajaan dengan berbagai macam fasilitas istana. Di kompleks itu hanya terdapat makam Malikussaleh dan putranya, Malikuddahir.
KOMPAS.COM/MASRIADI
Pengunjung memperhatikan nisan di Makam Sultan Malikussaleh, Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara
"Tidak diketahui pasti di mana letak istana. Bisa jadi, sekitar kecamatan ini. Kerajaan Samudera Pase kan kerajaan besar, jadi bisa jadi di desa lain pusat istananya," sebut Muhammad Yakop.
Makam ini terletak sekitar 20 kilometer arah timur Kota Lhokseumawe. Jika melintasi jalan nasional Medan–Banda Aceh dan berada persis di Kedai Geudong, maka berbeloklah ke kiri. Ikuti jalan lurus itu sekitar 3 kilometer, dan papan nama kompleks makam itu akan terlihat.
"Pengunjung yang ke sini umumnya masyarakat luar, atau orang Aceh yang membawa masyarakat dari luar Aceh yang ingin melihat bagaimana makam raja yang paling tersohor ini," ujar Yakop.
Di sekitar makam, warga kerap menemukan peninggalan kerajaan tempo dulu, seperti dirham dari emas, perunggu, guci, atau piring.
"Seingat saya, 1980 ditemukan 132 uang dirham. Itu digali oleh arkeolog, dan itu penemuan terbesar seingat saya," sebutnya.
Hingga kini, sambung Yakop, masih banyak warga yang mencari peninggalan kerajaan itu.
"Jika hujan deras, biasanya ditemukan dirham atau piring atau benda lain. Warga di sini kerap menemukannya," terangnya.
Namun, sayangnya, dirham itu tidak tersimpan dengan baik di tangan pemerintah. Yakop menyebutkan, seharusnya ada tempat penyimpanan sejenis museum khusus untuk Kerajaan Samudera Pase. Pemerintah telah membangun museum, tetapi belum berfungsi.
"Semoga, ke depan, anak cucu kita bisa melihat lengkap koleksi museum tentang kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara ini," pungkasnya.
Post A Comment:
0 comments: